Rabu, 05 Oktober 2011

Terapi Imunosupresi


Sistem imun tubuh dapat membedakan antara antigen diri (self antigen) dengan antigen asing (non-self antigen). Dalam keadaan normal sistem imun memper- tahankan fungsi fisiologis terhadap berbagai perubahan dari luar. Jika suatu antigen asing masuk ke dalam tubuh akan timbul respons imun, tetapi pada keadaan tertentu dapat tidak timbul respons imun. Suatu antigen disebut imunogen bila mampu membangkitkan respons imun, jadi bersifat imunogenik. Sebaliknya kalau tidak menimbulkan respons imun disebut bersifat tolerogenik dan menimbulkan imunotoleransi. Pada keadaan tertentu respons imun dapat memberikan keadaan patologik misalnya pada keadaan hipersensitivitas, atau dapat juga ditimbulkan oleh karena gangguan regulasi sistem imun, autoimunitas, dan defisiensi imun. Imunomodulasi adalah usaha untuk mengembalikan dan memperbaiki keadaan patologik tersebut menjadi normal kembali dengan cara menekan fungsi imun yang berlebihan (imunosupresi), atau memperbaiki sistem imun dengan merangsang sistem imun (imunopotensiasi).
Imunosupresi
Imunosupresi adalah usaha untuk menekan respons imun, jadi berfungsi sebagai kontrol negatif atau regulasi reaktivitas imunologik. Dalam klinik kegunaannya adalah untuk mencegah reaksi penolakan pada transplantasi organ tubuh, dan menekan serta menghambat pembentukan antibodi pada penyakit autoimun. Imunosupresi dapat dilakukan dengan obat imunosupresan, globulin antilimfosit, radiasi, dan tindakan operasi.
Imunosupresan  Imunosupresan yang biasa diberikan adalah kortikosteroid, azatioprin, dan siklosporin A.
  • Kortikosteroid  Mekanisme kortikosteroid sebagai imunosupresan adalah melalui aktivitas anti peradangan, menghambat metabolisme asam arakidonat, menurunkan populasi leukosit, menimbulkan limfopenia terutama sel Th, dan dalam dosis tinggi menekan pengeluaran sitokin dari sel T.
  • Azathioprine dan siklosporin A  Azatioprin adalah inhibitor mitosis, bekerja pada fase S, menghambat sintesis asam inosinat, prekursor purin, asam adenilat dan guanilat. Baik sel T maupun sel B akan terhambat proliferasinya oleh azatioprin. Azatioprin menghambat sintesis purin sel dan mengakibatkan hambatan penggandaan sel. Azatioprin berperan menekan fungsi sistem imun selular yaitu menurunkan jumlah monosit dan fungsi sel K. Pada dosis 1-5 mg/kgBB tidak berpengaruh pada sistem imun humoral. Dengan menurunkan fungsi sistem selular ini maka penerimaan transplan dipermudah dan timbul anergi. Kerugiannya adalah meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan kecenderungan timbul keganasan. Siklosporin menghambat aktifasi sel T dengan menghambat transkripsi gen yang menyandi IL-2 dan IL-2R. Siklosporin A adalah suatu heksa-dekapeptida berasal dari jamur yang mempunyai khasiat menghambat proliferasi dan transformasi sel Th, menghambat sitotoksisitas sel Th, menghambat produksi limfokin sel Th, dan meningkatkan aktivitas sel Ts. Pada transplantasi organ, obat ini meningkatkan masa hidup transplan. Kerugiannya adalah meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan kejadian penyakit limfoproliferatif.
  • Globulin antilimfosit  Globulin antilimfosit merupakan antibodi terhadap limfosit yang mempunyai aktivitas menghambat sel T dan sel B, serta menimbulkan limfositopenia.
  • Radiasi  Radiasi sinar X terutama digunakan karena sifatnya sebagai sitosida pada sel neoplasma tertentu.
  • Lactoferrin  Lactoferrin adalah kandungan air susu ibu, dapat menghambat komplemen dan produksi granulosit dan makrofag melalui pengendalian GM-CSA. Lysozyme, menghambat kemotaksis neutrofil dan pengeluaran oksigen radikal.
  • 1,25-dihydroxy-vitamin D3 Zat ini adalah suatu analog vitamin D yang bersifat sinergis dengan deksametason dalam menghambat Th-1 dalam produksi IFN-g. Hidrolisat kasein dengan Lactobacillus menghambat proliferasi limfosit in vitro.
  • Linomide Pada percobaan binatang menghambat ekspresi gen sitokin Th-1 yaitu IFN-g, IL-2 dan TNF-b.
  • Rekombinan CD58 (rCD58) Rekombinan CD58 menghambat aktivasi dan adhesi sel T, serta menghambat sitotoksisitas sel NK.
Potential fifth-generation immunosuppressive strategies
Immunosuppressive agents could disrupt the antigen-presenting cell (APC) signal by inhibition of uptake and presentation of antigen, activation and differentiation (a); block co-stimulatory signals or agonize inhibitory molecules (b); antagonize antigen signals or proximal activation mediators (c); interrupt cytokine binding to its receptor at the cell surface (d); or inhibit cytokine-signal transduction (e). APC, antigen-presenting cell; CTLA4, cytotoxic T lymphocyte antigen 4; JAK3, Janus kinase 3; L, ligand; MTOR, mammalian target of rapamycin; NFAT, nuclear factor of activated T cells; NF-kappaB, nuclear factor-kappaB; PKB, protein kinase B; R, receptor; STAT5, signal transducer and activator of transcription 5; TCR, T-cell receptor; TLR4, Toll-like receptor 4; ZAP70, zeta-chain-associated protein 70.
Penggunaan Imunosupresi
  • Terapi Imunosupresi Pada Penderita Anemia Aplastik  Terapi imunosupresi (IST) merupakan terapi alternatif utama pada pasien tanpa kesesuaian HLA. Kombinasi dengan antithymocyte globulin (ATG) atau anti-lymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin memberikan respon sekitar 75%. Keberhasilan jangka panjang terapi IST masih belum diketahui pasti. Meningkatnya risiko menjadi myelodysplastic syndrome (MDS) dan acute myeloid leukemia (AML) dapat ditemukan pada anak penderita anemia aplastik dengan terapi IST.
  • Terapi Imunosupresi pada Transplanstasi Ginjal.  Pemeliharaan dengan terapi imunosupresif pada transplanstasi ginjal biasanya menggunakan tiga jenis obat, setiap obat bekerja pada tahapan yang berbeda dalam respon imun.
  1. Inhibitor calcineurin, cyclosporine dan tacrolimus, merupakan terapi utama imunosupresif. Inhibitor calcineurin merupakan agen oral yang paling poten dan telah secara luas dikembangkan untuk ketahanan singkat terhadap reaksi Graft. Efek samping dari cyclosporine termasuk hipertensi, hiperkalemi, tremor, hirsutisme, hipertropi gingival, hiperlipidemi, hiperurikemi, dan kehilangan fungsi renal secara perlahan dan progresif dengan karakteristik pola histopatologik (juga terlihat pada resipien transplantasi jantung dan hati). Efek samping tracolimus umumnya sama dengan cyclosporine, tetapi memiliki resiko lebih tinggi akan terjadinya hiperglikemi dan resiko lebih rendah terhadap hipertensi.
  2. Prednisone seringkali digunakan bersama dengan cyclosporine, setidaknya pada bulan-bulan pertama. Efek samping dari prednisone termasuk hipertensi, intoleransi glukosa, tampilan Cushingoid, osteoporosis, hiperlipidemi, jerawat, dan depresi dan gangguan mental lain.
  3. Mycophenolate mofetil telah terbukti lebih efektif dibandingkan dengan azathioprine pada terapi kombinasi dengan inhibitor calcineurin dan prednisone. Efek samping utama dari mycophenolate mofetil adalah gastrointestinal (yang paling sering adalah diare); leukopenia (dan kadang trombositopenia).
  4. Sironimus adalah agen imunosupresif terbaru yang sering digunakan dengan kombinasi bersama obat-obat lain, terutama saat inhibitor calcineurin tereduksi atau tereliminasi. Efek samping termasuk hiperlipidemi dan ulserasi oral.
>>

Imunosupresan


Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan antibodies terhadap limfosit.
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.

1. Transplantasi organ
Penggunaannya.Immunosupresan banyak digunakan untuk mencegah reaksi penolakan pada transplantasi organ, karena tubuh membentuk antibodies terhadap sel-sel asing yang diterimanya. Guna mencegah penolakan transplantat selalu diberikan :
- Kortikisteroida
- Azatriopin, siklofosfanida, atau mycofenolat
- Siklosporin-A dan tacrolimus
- Limfositimunoglobulin (Limfoglobulin)

2. Penyakit autoimun
Guna menekan aktivitas penyakit auto imun sering digunakan zat-zat imunosupresif. Misalnya, pada rematik dan penyakit radang usus (colitis ulcerosa, M. Crohn) diberikan sulfasalazin dan sitostatika (MTX, azatioprin).

3. Pencegahan hemolisis rhesus pada neonates

Mekanisme kerja :
Respon imun
Pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik ( adaptive imunity).

1. Imunitas nonspesifik
Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim, komploment ; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag. Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.

2. Imunitas spesifik
Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan antigen sendiri (nonself terhadap self) ; dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat dan lebih efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon imun spesifik ini terdiri dari dua sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas humoral. Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral melibatkan limposit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut sebagai antigen presenting sel. Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang optimal adalah sebagai berikut:

1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.

2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.

3.Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun baru bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit di atasi.
Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang, membuat patogen, termasuk virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit defisiensi imun muncul ketika sistem imun kurang aktif daripada biasanya, menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit genetik, seperti severe combined immunodeficiency, atau diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi, seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Penyakit autoimun menyebabkan sistem imun yang hiperaktif menyerang jaringan normal seperti jaringan tersebut merupakan benda asing. Penyakit autoimun yang umum termasuk rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe 1 dan lupus erythematosus. Peran penting imunologi tersebut pada kesehatan dan penyakit adalah bagian dari penelitian.

Contoh Imunosupresan : Metotrekstat, Azatioprin, Siklofosfamid intravena, Cyclophosphamide

Metotrekstat
- Nama : 4-amino-4-deoxy–10-methylpteoryl-L-glutamic acid.

- Struktur kimia : C20H22N8O5

- Sifat Fisikokimia : Serbuk kristal berwarna kuning atau oranye, higroskopis. Praktis tidak larut dalam air, alkohol, diklorometan, terurai dalam larutan asam mineral, basa hidroksida dan karbonat.

- Golongan/Kelas Terapi : Antineoplastik, Imunosupresan dan obat utnuk terapi.

- Nama dagang :Emthexate-Combiphar/Pharmachemie,Methotrexat-Ebewe, Methotrexate-Kalbe.

- Indikasi :
Pengobatan untuk neoplasma trofoblatik, leukemia, psoriasis, reumatoid artritis, termasuk terapi poliartikular juvenile reumatoid artritis (JDR); karsinoma payudara, karsinoma leher dan karsinoma kepala,karsinoma paru, osteosarkoma, sarcoma jaringan lunak, karsinoma saluran gastrointestinal, karsinoma esofagus, karsinoma testes, karsinoma limfoma.

- Dosis, cara pemberian dan lama pemberian :
Dosis 100 – 500 mg/m² membutuhkan leucovorin rescue, > 500 mg/m² harus menggunakan leucovorin rescue baik secara iv, im, maupun oral. Leucovorin 10 mg/m² setiap 6 jam untuk 6-8 dosis dimulai 24 jam setelah pemberian metotreksat. Pemberian leucovorin dilanjutkan sampai kadar metotreksat dalam darah sebesar < 0.1 micromolar. Jika kadar metotreksat setelah 48 jam > 1 mikromolar atau setelah 72 jam > 0.2 micromolar,berikan leucovorin 100 mg/m² setiap 6 jam sampai kadar metotreksat sebesar < 0.1 micromolar.

- Farmakologi :
Onset kerja : Antirematik: 3-6 minggu; tambahan perbaikan bisa dilanjutkan lebih lama dari 12 minggu.
Absorpsi : Oral: cepat : diserap baik pada dosis rendah (<30 mg/m2); tidak lengkap setelah dosis tinggi ; I.M.: Lengkap
Distribusi : Penetrasi lambat sampai cairan fase 3 (misal pleural efusi, ascites), eksis lambat dari kompartemen ini (lebih lambat dari plasma), melewati plasenta, jumlah sedikit masuk kelenjar susu, konsentrasi berangsur-angsur dikeluarkan di ginjal dan hati.

Ikatan protein: 50%
Metabolisme: <10%: Degradasi dengan flora intestinal pada DAMPA dengan karboksipeptida, oksidasi aldehid konversi metotreksat menjadi 7-OH metotreksat di hati; poliglutamat diproduksi secara mempunyai kekuatan samadengan metotreksat, produksinya tergantung dosis, durasi dan lambat dieliminasi oleh sel.
T ½ eliminasi: Dosis rendah: 3-10 jam; I.M.: 30-60 menit.
Ekskresi : Urin (44%-100%); feses (jumlah kecil)

- Stabilitas penyimpanan :
Tablet dan vial disimpan pada suhu kamar (15-25°C), hindari cahaya matahari langsung.

- Kontra Indikasi :
Hipersensitifitas dari metotreksat dan komponan lain dari sediaan; kerusakan hebat ginjal dan hati,pasien yang mengalami supresi sum-sum tulang dengan psoriasis atau reumatoid artritits,penyakit alkoholik hati,AIDS,darah diskariasis,kehamilan,menyusui.

- Efek samping :
Efek samping beragam sesuai rute pemberian dan dosis.

1. Hematologi dan/atau toksisitas gastrointestinal : sering terjadi pada penggunaan umum dari dosis umum metotreksat; reaksi ini lebih sedikit terjadi ketika digunakan pada dosis topikal untuk reumatoid artritis.

2. SSP : (dengan pemberian intratekal atau terapi dosis tinggi): Arachnoides: Manifestasi reaksi akut sebagai sakit kepala hebat, rigidity nuchal, muntah dan demam, dapat alleviated dengan pengurangan dosis.

3. Subakut toksisitas: 10% pasien diobat dengan 12-15 mg/m2 dari intratekal metotreksat bisa membuat ini dalam minggu kedua atau ketiga dari terapi; konsis dari paralisis motor dari ekstremites,palsy nerve kranial, seizure, atau koma.Hal ini juga terlihat pada pediatrik yang menerima dosis tinggi IV metotreksat.

4. Demyelinating enselopati: telihat dalam bulan atau tahun setelah menerima metotreksat; biasanya diasosiasikan dengan iradiasi kranial atau kemoterapi sistemik yang lain.

5.Dermatologi: Kulit menjadi kemerahan.Endokrin dan metabolik: Hipoerurikemia,detektif oogenesis, atau spermatogenesis.

6. GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah, diare, anoreksia, perforasi intestinal, mukositis (tergantung dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah terapi, terhenti setelah 2 minggu)

7.Hematologi: Leukopenia, trombositopenia.Ginjal: Gagal ginjal, azotemia,nefropati.Pernafasan: Faringitis. 1%-10%

8. Kardiovaskular: Vaskulitis.SSP, pusing, malaise, enselopati, seizure, demam, chills.

9. Myelosupresif : Terutama faktor batas-dosis (bersama dengan mukositis) dari metotreksat, terjadi sekitar 5-7 hari setelah terapi, dan harus dihentikan selama 2 minggu.

10. WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset: 7 hari, Nadir: 10 hari, Recovery: 21 hari

11. Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah diasosiasikan dengan terapi kronik metotreksat, evaliasi akut dari enzym liver adalah biasa terjadi setelah dosis tinggi dan biasanya resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal: Arthalgia.Okular: Pandanga

12. Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise pada serum kreatinin dan BUN dan penurunan output urin, biasa terjadi pada dosis tinggi dan berhubungan dengan presipitasi dari obat.

13. Respirator (Penumositis) : Berhubungan dengan demam, batuk, dan interstitial pulmonari infitrates; pengobatan dengan metotreksat selama reaksi akut; interstitial pneumisitis pernah dilaporkan terjadi dengan insiden dari 1% pasien dengan RA (dosis 7.5-15 mg/minggu) <1% (terbatas sampai penting untuk penyelamatan hidup): Neurologi akut sindrom (pada dosis tinggi- simptom termasuk kebingungan, hemiparesis, kebutaan transisi,dan koma); anafilaksis alveolitis; disfungsi kognitif (pernah dilaporkan pada dosis rendah),penurunan resistensi infeksi,eritema multiforma, kegagalan hepatik, leukoenselopati (terutama mengikuti irasiasi spinal atau pengulangan terapi dosis tinggi),disorder limpoproliferatif, osteonekrosis dan nekrosis jaringan lunak (dengan radioterapi), perikarditis, erosions plaque (Psoriasis), seizure (lebih sering pada pasien dengan ALL),sindrom Stevens – Johnson, tromboembolisme.
-Interaksi :

1. Dengan Obat lain
Efek meningkatkan/toksisitas: Pengobatan bersama dengan NSAID telah menghasilkan supresi sum-sum tulang berat, anemia aplastik dan toksisitas pada saluran gastrointestinal. NSAID tidak boleh digunakan selama menggunakan metotreksat dosis sedang atau tinggi karena dapat meningkatkan level metotreksat dalam darah (dapat menaikkan toksisitas):
NSAID digunakan selama pengobatan dari reumatoid artritis tidak pernah amati, tapi kelanjutan dari regimen terdahulu pernah diikuti pada beberapa keadaan, dengan peringatan monitoring. Salisilat bisa meningkatkan level metotreksat, bagaimanapun penggunaan salisilat untuk profilaksis dari kejadian kardiovaskular tidak mendapat perhatian.
2. Dengan Makanan
Serum level metotreksat bisa menurun jika bersama dengan makanan. Makanan dengan banyak susu dapat menurunkan absorpsi metotreksat. Folat dapat menurunkan respons obat. Hindari echinacea (mempunyai sifat sebagai imunostimulan).
-Pengaruh :

1. Kehamilan
Faktor resiko X

2. Ibu menyusui
Metotreksat didistribusikan ke dalam air susu, dikontraindikasikan untuk ibu menyusui.
-Bentuk Sediaan : Tablet 2.5 ml, Vial 5 mg/2ml, Vial 50 mg/2 ml, Ampul 5 mg/ml, Vial 50mg/5ml
Zat-zat lain

1. Kortikosteroda
Hormon anak ginjal berkhasiat anti radang, imunosupresif, dan antialergis. Kedua efek terakhir untuk sebagian besar berhubungan dengan kerja antiradangnya dan terutama nampak pada reaksi imun di jaringan. Misalnya migrasi sel dan aktivitas fagocytose dari makrofag/monocyt dikurangi. Juga jaringan lymfatis dirombak, dimana limfosit-T dan –B berperan. Pembentukan antibodies hanya ditekan pada dosis amat tinggi. Kortikosteroida banyak digunakan sebagai obat tambahan pada penyakit auto-imun seperti rema, Sjogren, SLE, dan MS (multiple scerosis), juga pada terapi kanker. Efektif sekali untuk menekan dengan pesat exacerbatio penyakit (mendadak menjadi parahnya gejala penyakit).Untuk memelihara remisi pada penyakit-usus beradang kronis ternyata kurang efektif.

2. Siklosporin (Sandimmun, Neoral)
Endecapeptida siklis ini (1983) diperoleh dari fungi Tolypocladium inflatum dan terdiri dari 11 asam amino. Bersifat Immunosupresif istimewa dengan jalan menghambat secara spesifik respons-imun seluler. Proliferasi T-helpercells dan cytotoxic cells dihambat secara selektif dan reversible. Juga merintangi produksi/pelepasan IL-2 dan banyak limfokin lain. Produksi Limfo-T supressorcells justru distimulasi . Tidak berkhasiat myelosupressif.
Siklosporin terutama digunakan berkat sifat-sifat ini pada transplantasi organ atau sumsum untuk profilakse dan penanganan reaksi penolakan. Juga pada psioriasis, colitis dan penyakit Crohn. Siklosporin dapat dikombinasi dengan kortikoida atau immunosupressiva yang lain dengan maksud mengurangi nefrotoksisitasnya.
Resorbsi dari usus sangat variable, BA-nya 10-15%, PP-nya 98%, plasma T1/2-nya ca 20 jam. Bersifat sangat lipofil, maka distribusinya baik kesemua jaringan tubuh. Dalam hati dirombak menjadi 15 metabolityang terutama diekskresikan melalui empedu dengan siklus enterohepatis. Hanya 6% dieksresikan lewat kemih.
Efek samping utamanya adalah yang tergantung dari dosis dengan turunya nilai kreatinin (reversible). Juga hipertensi, hiperlipidemia, hipertrichosis, gangguan lambung-usus,nyeri kepala, tangan rasa terbakar, konvulsi, gangguan darah dan lain-lain. Bersifat karsinogen terutama bila digunakan lama dengan dosis tinggi (limfoma, kanker kulit).
Dosis : 4-12 jam sebelum transplantasi, oral 2,5-15 mg/kg selama 1-2 bulan, juga sebagai infuse intravena. Dosis disesuaikan dengan kadar siklosporin dalam darah.

3. Tacrolimus (prograf)
Senyawa makrolida ini diekstraksi dari jamur streptomyces tsukubaensis (1993). Khasiat dan mekanisme immunosupressivenya sama dengan sikolosporin, tetapi ca lebih kuat 50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak perlu untuk proliferasi sel –T. Juga bersifat sangat lipofil dan sama efektifnya dengan siklosporin pada transplantasi hati, jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama digunakan bersama kortikosteroida. Lebih sering menimbulkan efek samping berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah transplantasi selama 2-3 hari, lalu dilanjutkan oral 0,15-0,3 mg/kg/hari dalam 2 dosis.

4. Mycofenolat-mofetil (CellCept)
Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat menekan perbenyakan dari khusus limfosit melalui inhibisi enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk sintese purin (DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan penolakan akut setelah transplantasi ginjal. Dibandingkan dengan obat-obat lainya , yaitu azatioprin dan siklosporin ( dan prednisone), persentase penolakan dikurangi sampai 50%. Lagi pula efek sampingnya lebih sedikit. Mungkin berdaya pula untuk menghambat penolakan menahun (jangka panjang) yang smpai kini merupakan maslah besar.
Resorpsinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam hati segera diubah menjadi asam mycofenolat aktif . Ekskresinya berlangsung melaluiurin sebagai glukuronidanya (inaktif), sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis. Plasma – t1/2 mycofenolat adalah ca 16 jam.
Dosis : dalam waktu 72 jam setelah transplantasi 2 dd 1ga.c dengan minyak air.

5. Talidomida (synovir)
Derivat-piperidin ini (1957) adalah obat tidur dengan efek teratogen sangat kuat (peristiwa softenon, 1962, lihat edisi empat), yang berdasarkan khasiat anti-angiogenesisnya. Juga berdaya imunosupresif (anti-TNF). Dan antiradang. Setelah dilarang peredaranya selama lebih dari 25 tahun, sejak awal tahun 1990-an talidomida mulai digunakan lagi antara lain untuk menekan reaksi lepra dan meringankan gejala AIDS seperti (aphtae) dimulut , kerongkongan, dan kemaluan, serta diare dan kehilangan bobot serius. Di AS penggunaanya pada lepra disahkan kembali sejak akhir tahun 1997 dengan syarat- syarat ketat. Dewasa ini efektivitasnya sedang diselidiki secara klinis untuk berbagai penyakit auto-imun.

6. Sulfalazin (sulcolon)
Sulfalazin adalah persenyawaan sulfapiridin dengan 5- ASA yang bersifat antiradang dengan jalan blokade siklo-oksigenase serta lipoksigenase dan dengan demikian mencegah sintesis prostaglandin dan leukotrien . Sulfalazin mempengaruhi fungsi limfosit, mungkin lewat cytokine, juga berdaya antioksidans ( ‘ Menangkap’ radikal bebas O2). Zat ini digunakan khusus pada penyakit usus beradang kronis (crohn, colitis) dan pada rema.


>>

Selasa, 04 Oktober 2011

Gangguan Autoimun


undefined
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri.

Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-jasad, parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokkan organ dan jaringan. Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel kanker). Beberapa antigen, seperti molekul serbuk sari atau makanan, ada di mereka sendiri.

Sel sekalipun pada orang yang memiliki jaringan sendiri bisa mempunyai antigen. Tetapi, biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen dari orang yang memiliki jaringan sendirii. Tetapi, sistem imunitas kadang-kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antibodi asing dan menghasilkan (disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi.

Beberapa ganguan autoimun yang sering terjadi seperti radang sendi rheumatoid, lupus erythematosus sistemik (lupus), dan vasculitis, diantaranya. Penyakit tambahan yang diyakini berhubungan dengan autoimun seperti glomerulonephritis, penyakit Addison, penyakit campuran jaringan ikat, sindroma Sjogren, sclerosis sistemik progresif, dan beberapa kasus infertilitas.

Beberapa Gangguan Autoimun
Gangguan
Jaringan yang terkena
Konsekwensi
Anemia hemolitik autoimun
Sel darah merah
Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah) terjadi, menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan.
Limpa mungkin membesar.
Anemia bisa hebat dan bahkan fatal.
Bullous pemphigoid
Kulit
Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak yang merah, terbentuk di kulit.
Gatal biasa.
Dengan pengobatan, prognosis baik.
Sindrom Goodpasture
Paru-paru dan ginjal
Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah, kepenatan, bengkak, dan gatal, mungkin berkembang.
Prognosis baik jika pengobatan dilaukan sebelum kerusakan paru-paru atau ginjal hebat terjadi.
Penyakit Graves
Kelenjar tiroid
Kelenjar gondok dirangsang dan membesar, menghasilkan kadar tinggi hormon thyroid (hyperthyroidism).
Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat, tidak tahan panas, tremor, berat kehilangan, dan kecemasa.
Dengan pengobatan, prognosis baik.
Tiroiditis Hashimoto
Kelenjar tiroid
Kelenjar gondok meradang dan rusak, menghasilkan kadar hormon thyroid rendah (hypothyroidism).
Gejala seperti berat badan bertambah, kulit kasar, tidak tahan ke dingin, dan mengantuk.
Pengobatan seumur hidup dengan hormon thyroid perlu dan biasanya mengurangi gejala secara sempurna.
Multiple sclerosis
Otak dan spinal cord
Seluruh sel syaraf yang terkena rusak. Akibatnya, sel tidak bisa meneruskan sinyal syaraf seperti biasanya.
Gejala mungkin termasuk kelemahan, sensasi abnormal, kegamangan, masalah dengan pandangan, kekejangan otot, dan sukar menahan hajat.
Gejala berubah-ubah tentang waktu dan mungkin datang dan pergi.
Prognosis berubah-ubah.
Myasthenia gravis
Koneksi antara saraf dan otot (neuromuscular junction)
Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan lelah dengan mudah, tetapi kelemahan berbeda dalam hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi secara luas.
Obat biasanya bisa mengontrol gejala.
Pemphigus
Kulit
Lepuh besar terbentuk di kulit.
Gangguan bisa mengancam hidup.
Pernicious anemia
Sel tertentu di sepanjang perut
Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat kesulitan menyerap vitamin B12. (Vitamin B12 perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel syaraf).
Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan.
Syaraf bisa rusak, menghasilkan kelemahan dan kehilangan sensasi.
Tanpa pengobatan, tali tulang belakang mungkin rusak, akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi, kelemahan, dan sukar menahan hajat.
Risiko kanker perut bertambah.
Juga, dengan pengobatan, prognosis baik.
Rheumatoid arthritis
Sendi atau jaringan lain seperti jaringan paru-paru, saraf, kulit dan jantung
Banyak gejala mungkin terjadi.
termasuk demam, kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan sendi, merusak bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan sensasi, kelemahan, bercak, rasa sakit dada, dan bengkak di bawah kulit.
Progonosis bervariasi
Systemic lupus erythematosus (lupus)
sendi, ginjal, kulit, paru-paru, jantung, otak dan sel darah
Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi cacat.
Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, dan ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru-paru, atau jantung mengacaukan, seperti kepenatan, pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit dada, mungkin terjadi.
Bercak mungkin timbul.
Ramalan berubah-ubah secara luas, tetapi kebanyakan orang bisa menempuh hidup aktif meskipun ada gejolak kadang-kadang kekacauan.
Diabetes mellitus tipe 1
Sel beta dari pankreas (yang memproduksi insulin)
Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil, dan selera makan, seperti komplikasi bervariasi dengan jangka panjang.
Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan, sekalipun perusakan sel pankreas berhenti, karena tidak cukup sel pankreas yang ada untuk memproduks iinsulin yang cukup.
Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan hingga waktu yang lama.
Vasculitis
Pembuluh darah
Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah di satu bagian badan (seperti syaraf, kepala, kulit, ginjal, paru-paru, atau usus) atau beberapa bagian. Ada beberapa macam. Gejala (seperti bercak, rasa sakit abdominal, kehilangan berat badan, kesukaran pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit kepala, kehilangan pandangan, dan gejala kerusakan syaraf atau kegagalan ginjal) bergantung pada bagian badan mana yang dipengaruhi.
Prognosis bergantung pada sebab dan berapa banyak jaringan rusak.
Biasanya, prognosis lebih baik dengan pengobatan.


PENYEBAB

Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal :

* Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan demikian disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah.Misalnya, pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran darah.Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.
* Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi sistem kekebalan tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang ditulari oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya.
* Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan. Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan mirip seperti bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi, sistem kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan (reaksi ini bagian dari deman rumatik).
* Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih) mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel badan.

Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan kekacauan, daripada kekacauan itu sendiri, mungkin diwarisi. Pada orang yang rentan, satu pemicu, seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang. Faktor Hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih sering terjadi pada wanita.

GEJALA

Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Tetapi, gejala bervariasi bergantung pada gangguan dan bagian badan yang terkena. Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi jenis tertentu jaringan di seluruh badan misalnya, pembuluh darah, tulang rawan, atau kulit. Gangguan autoimun lainnya mempengaruhi organ khusus. Sebenarnya organ yang mana pun, termasuk ginjal, paru-paru, jantung, dan otak, bisa dipengaruhi. Hasil dari peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, penyakit kuning, gatal, kesukaran pernafasan, penumpukan cairan (edema), demam, bahkan kematian.

DIAGNOSA

Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali meningkat, karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah (erythrocytes) untuk tetap ada di darah. Sering, jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang mengurangi produksi mereka. Tetapi, radang mempunyai banyak sebab, banyak diantaranya yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan autoimun khusus. Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di lupus erythematosus sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi, yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Tetapi antibodi ini pun kadang-kadang mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala orang untuk mengambil keputusan apakah ada gangguan autoimun.

PENGOBATAN

Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.

Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkal denganjangka panjang. Tetapi, obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker. Kosekwensinya, risiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.

Sering, kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral. Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. KortiKosteroid yang digunakan dlama jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin, kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi, kortikosteroid kadang-kadang harus dipakai untuk jangka waktu tidak terbatas.

Ganggua autoimun tertentu (misalnya, multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan.

Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu.

Obat baru tertentu secara khusua membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.

Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan kepada pasien.

Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai. Tetapi, kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala. Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan. 
 
>>

Farmakologi tatalaksana Juvenile Rheumatoid Arthritis


Juvenile Rheumatoid Arthritis
Juvenile Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit autoimun yang menyerang anak-anak berusia di bawah 16 tahun. Secara umum penyakit ini dicirikan oleh inflamasi kronik sendi, edema, bengkak, nyeri, hiperemia, infiltrasi limfosit dan sel plasma, penebalan membran sinovial, pembentukan pannus, destruksi kartilago, kehilangan fungsi serta berbagai aktivitas ekstraartikular seperti nodul rheumatoid, gejala seperti demam dan malaise, iridosiklitis, dan lain-lain. Faktor yang memicu rangkaian kejadian pada JRA masih belum dipahami sepenuhnya, namun imunologi berperan penting dalam patogenesis penyakit tersebut. Berdasarkan jumlah sendi yang terkena, durasi, dan faktor rheumatoid, JRA dapat dibagi ke dalam beberapa kategori antara lain pausilartikular (oligoartikular) tipe 1 dan 2 dan poliartikular baik dengan faktor rheumatoid positif maupun negatif.
Dalam penatalaksanaan JRA, terdapat dua tujuan umum yang ingin dicapai:
  1. Mengembalikan fungsi sendi dan memulihkan manifestasi ekstraartikular serta
  2. Memberi dukungan pada anak dan keluarganya dalam menuju pencapaian psikososial seoptimal mungkin
Tatalaksana farmakologis Juvenile Rheumatoid Arthritis
1. Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID)
NSAID merupakan golongan obat yang memiliki efek antiinflamasi, antipiretik dan analgetik. NSAID bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin (salah satu mediator peradangan) terganggu. Prostaglandin merupakan mediator yang berperan dalam proses nyeri (menyebabkan sensitisasi reseptor terhadap stimulus mekanik dan kimia/hiperalgesia), menimbulkan vasodilatasi, eritema, dan menimbulkan demam (terutama di hipothalamus).
Secara umum diketahui ada dua isoform COX, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 berperan dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal/fisiologis di berbagai jaringan (ginjal, saluran cerna, tombosit) sedangkan COX-2 lebih berperan dalam proses inflamasi.
Dalam menimbulkan efek analgesik, NSAID jauh lebih lemah dibanding opiat, namun demikian NSAID tidak menimbulkan ketergantungan. NSAID bekerja dengan cara mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri di susunan saraf pusat, oleh karena itu NSAID cocok untuk nyeri rendah sampai sedang (mis. sakit kepala, nyeri integumen), nyeri kronik (mis. nyeri pascabedah), namun tidak cocok untuk nyeri hebat seperti akibat terpotongnya saraf aferen.
Efek antipiretik NSAID disebabkan oleh kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin di hipotalamus (terutama oleh aspirin), dan efek antiinflamasinya sering digunakan untuk pengobatan kelainan muskuloskeletal. Meskipun demikian, NSAID hanya meringankan simptom, bukan menghilangkan penyebab/memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Untuk penyakit Juvenile Rheumatoid Arthritis, NSAID merupakan obat yang diberikan pertama kali (sesuai algoritma penatalaksanaan). Terdapat beberapa pilihan NSAID, namun beberapa NSAID tertentu yang sudah tidak/jarang digunakan lagi, seperti aspirin, karena sifatnya yang merusak lambung (aspirin menghambat COX-1, yang secara fisiologis bersifat sitoprotektif untuk lambung). Untuk mengevaluasi sejauh mana manfaat NSAID tertentu terhadap penderita diperlukan waktu paling sedikit 6 minggu. Selain itu, kadang-kadang diperlukan kombinasi NSAID dengan DMARD (misalnya methotrexate). Beberapa contoh NSAID yang diberikan untuk penderita JRA adalah:
  • Naproxen, untuk anak-anak dosis 7-20 mg/kgBB/hari peroral, dan tidak melebihi 1 gr/hari
  • Ibuprofen, untuk anak-anak dosis 30-50 mg/kgBB/hari peroral, dan tidak melebihi 2.4 gr/hari
  • Indomethacin, untuk anak-anak 1-2 mg/kgBB/hari, dan tidak melebihi 4 mg/kgBB/hari atau 150-200 mg/hari.
  • Diclofenac, untuk anak ≤12 tahun dosis 2-3 mg/kgBB/hari dan untuk anak ≥12 tahun dosis 100-200 mg/hari dan tidak melebih 225 mg/hari
  • Meloxicam, untuk anak-anak >2 tahun dosis 0.125 mg/kgBB/hari peroral, maksimal 7.5 mg/hari
  • Celecoxib, untuk anak-anak tidak diperbolehkan di bawah usia dua tahun, sedangkan untuk anak >2 tahun dengan berat 10-25 kg dosis 50 mg secara peroral dua kali sehari, dan untuk anak  >2 tahun dengan berat di atas 25 kg dosis 100 mg secara peroral dua kali sehari.
Dalam penggunaan NSAID sebagai tatalaksana JRA, perlu diperhatikan efek sampingnya, terutama pada tiga sistem organ yaitu saluran cerna, ginjal dan hati (bersifat hepatotoksik). Efek samping paling sering adalah ulkus peptik (terutama disebabkan oleh NSAID inhibitor COX-1), sehingga untuk menghindarinya NSAID yang digunakan adalah bersifat COX-2 inhibitor seperti celecoxib atau diclofenac. Selain itu NSAID juga dapat menghambat tromboxan A2 sehingga menyebabkan perpanjangan waktu perdarahan. Efek samping lainnya adalah nefropati analgesik dan reaksi hipersensitifitas.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang bekerja dengan cara mempengaruhi sintesis protein (dapat merangsang pembentukan atau menghambat sintesis protein spesifik). Secara seluler, kortikosteroid menghambat fenomena inflamasi dini (mis. edema, deposit fibrin, vasodilatasi, migrasi leukosit dan fagositosis) dan inflamasi tahap lanjut (mis. proliferasi kapiler, sintesis fibroblas dan kolagen). Karena itu, kortikosteroid hanya bersifat paliatif (menghilangkan simptom namun penyebab penyakit tetap ada). Sedangkan efek samping kortikosteroid cukup banyak, antara lain insufsiensi adrenal akut, gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia, mudah mendapat infeksi, perdarahan ulkus peptik, osteoporosis, miopatik, dll. Oleh karena itu pemberian kortikosteroid harus di bawah pengawasan yang sangat ketat.
Untuk penyakit JRA, pemberian kortikosteroid relatif jarang dan sebisa mungkin diupayakan untuk dihindari. Apabila diperlukan maka pemberiannya dapat berupa suntikan langsung secara intraartikular (apabila hanya sedikit/beberapa sendi yang terkena) atau intravena (apabila terjadi manifestasi sistemik intraartikular). Contoh kortikosteroid untuk JRA adalah methylprednisolone, pada anak-anak dosis intravena 15-30 mg/kgBB diberikan 30-60 menit untuk 2-3 hari.
3. Antireumatik pemodifikasi penyakit (DMARD)
DMARD merupakan obat antireumatik yang tidak hanya menghilangkan simptom namun juga mencegah perburukan penyakit. Efek DMARD baru dirasakan enam minggu hingga enam bulan setelah pengobatan.
Beberapa contoh DMARD adalah:
  • Methotrexate, untuk anak-anak diberikan dengan dosis 10-25 mg/m2/minggu secara peroral/intramuskular/subkutan dan dapat disertai dengan pemberian asam folat. Efek samping yang dapat timbul adalah mual, ulkus mukosa saluran cerna dan hepatotoksisitas.
  • Sulfasalazine,  untuk anak ≥6 tahun diberikan dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari dan tidak melebihi 2 gr/hari. Sulfasalazine bekerja menekan IL-1 dan TNF-α, menginduksi apoptosis dan meningkatkan faktor kemotaktik. Efek samping yang dapat timbul adalah iritasi saluran cerna, mual, muntah, dan nyeri kepala.
  • Adalimumab, yaitu suatu penghambat TNF. Untuk anak ≥4 tahun dengan berat 15-30 kg diberikan 20 mg/dua minggu secara subkutan, sedangkan untuk anak ≥4 tahun dengan berat badan ≥30 kg diberikan 40 mg/dua minggu secara subkutan.
Berikut ini adalah contoh suatu algoritma dalam penatalaksanaan Juvenile Rheumatoid Arthritis secara farmakologis:
Referensi
  1. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Textbook of Pediatrics. 15th ed. USA: WB Saunders Company; 1996.
  2. Gunawan SG et al. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 230-246.
  3. Rabinovich et al. Juvenile Rheumatoid Arthritis [Online]. 2009 Nov 25 [cited 2009 Dec 29]; Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1007276-treatment
>>

Minggu, 02 Oktober 2011

Jenis-jenis Pemeriksaan HIV/AIDS


HIV/AIDS termasuk jajaran penyakit yang mempunyai tingkat penularan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena seringkali seseorang tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV, sehingga menjadi sumber penularan bagi orang lain.
Seseorang terkena HIV biasanya diketahui jika telah terjadi Sindrom Defisiensi Imun Dapatan (AIDS) yang ditandai antara lain penurunan berat badan, diare berkepanjangan, Sarkoma Kaposi, dan beberapa gejala lainnya.
Berkembangnya teknologi pemeriksaan saat ini mengijinkan kita untuk mendeteksi HIV lebih dini. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain adalah :

ELISA
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi  mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah maka para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi.
Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air kencing.
Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah jari dan air liur.
Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV.

Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan' sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya.

IFA
IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya dua pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat mahal.

PCR Test
PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti. Selain itu, PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ yang akan didonorkan.


>>

Penyakit Imunologi HIV AIDS


Pendahuluan
Epidemi HIV/ AIDS di Indonesia sudah merupakan krisis global dan ancaman yang berat bagi pembangunan dan kemajuan sosial. Kasus-kasus HIV/ AIDS mengalami peningkatan pesat. Peningkatan yang tajam banyak dijumpai pada kasus orang dewasa terutama pengguna narkoba, pekerja seks maupun pelanggannya.
Menurut data Dirjen P2MPLP Depkes RI, tercatat sejak April 1987 hingga Maret 2004 terdapat 4.159 kasus HIV/ AIDS dengan 2.746 menderita HIV, 1.413 menderita AIDS dan 493 meninggal dunia. Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV/ AIDS sekitar 120.000 orang dan infeksi baru sekitar 80.000 orang. Angka-angka tersebut diatas diperoleh dari pemeriksaan darah anonymunlinked yang artinya darah yang diperiksa tidak diketahui orangnya. Karena masa inkubasi HIV/ AIDS sekitar 5-10 tahun dan masih adanya penolakan dari penderita yang terinfeksi. Perlu diingat bahwa HIV/ AIDS belum ada vaksin untuk mencegah dan cara pengobatannya. Sehingga pencegahan tergantung pada kesadaran masyarakat dan perubahan perilaku individu hidup sehat dan penggunan kondom bagi yang berperilaku resiko tinggi. Adapun tujuan dari penanggulangan ini adalah megurangi dampak sosial dan ekonomi serta mencegah dan memberantas penyakit infeksi menular seksual. Bayangan ancaman pada tahun 2010 sekitar 100.000 orang yang menderita/ meninggal akibat AIDS dan 1 juta orang mengidap virus HIV.

Definisi
AIDS adalah singkatan dari acquired immunedeficiency syndrome, merupakan sekumpulan gejala yang menyertai infeksi HIV. Infeksi HIV disertai gejala infeksi yang oportunistik yang diakibatkan adanya penurunan kekebalan tubuh akibat kerusakan sistem imun. Sedangkan HIV adalah singkatan dari  Human Immunodeficiency Virus.

Epidemiologi
Adanya infeksi menular seksual (IMS) yang lain (misal GO, klamidia), dapat meningkatkan risiko penularan HIV (2-5%). HIV menginfeksi sel-sel darah sistem imunitas tubuh sehingga semakin lama daya tahan tubuh menurun dan sering berakibat kematian. HIV akan mati dalam air mendidih/ panas kering (open) dengan suhu 56oC selama 10-20 menit. HIV juga tidak dapat hidup dalam darah yang kering lebih dari 1 jam, namun mampu bertahan hidup dalam darah yang tertinggal di spuit/ siring/ tabung suntik selama 4 minggu. Selain itu, HIV juga tidak tahan terhadap beberapa bahan kimia seperti Nonoxynol-9, sodium klorida dan sodium hidroksida.

Gejala Infeksi HIV/ AIDS
  • Infeksi akut : flu selama 3-6 minggu setelah infeksi, panas dan rasa lemah selama 1-2 minggu. Bisa disertai ataupun tidak gejala-gejala seperti:bisul dengan bercak kemerahan (biasanya pada tubuh bagian atas) dan  tidak gatal. Sakit kepala, sakit pada otot-otot, sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar, diare (mencret), mual-mual, maupun muntah-muntah.
  • Infeksi kronik : tidak menunjukkan gejala. Mulai 3-6 minggu setelah infeksi sampai 10 tahun.
  • Sistem imun berangsur-angsur turun, sampai sel T CD4 turun dibawah 200/ml dan penderita masuk dalam fase AIDS.
  • AIDS merupakan kumpulan gejala yang menyertai infeksi HIV. Gejala yang tampak tergantung jenis infeksi yang menyertainya. Gejala-gejala AIDS diantaranya : selalu merasa lelah, pembengkakan kelenjar pada leher atau lipatan paha, panas yang berlangsung lebih dari 10 hari, keringat malam,  penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya, bercak keunguan pada kulit yang tidak hilang-hilang, pernafasan pendek, diare berat yang berlangsung lama,  infeksi jamur (candida) pada mulut, tenggorokan, atau vagina dan mudah memar/perdarahan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya.
Stadium Infeksi

AIDS Council of NSW

Stadium 1 Infeksi primer:
Bila penderita mengalami infeksi untuk pertama kali dengan keluhan “seperti flu”.

Stadium 2 Kelainan tanpa gejala:
Penderita tetap merasa sehat, hal ini dapat berlangsung sampai beberapa tahun.

Stadium 3 Kelainan dengan gejala-gejala:
Penderita mengalami gejala-gejala ringan seperti rasa lelah, keringat malam, dll.

Stadium 4 Kelainan berat:
Penderita mengalami gejala-gejala yang lebih berat oleh karena daya tahan tubuh yang menurun (AIDS, Aquired Immunodeficiency Syndroms).

WHO

Stadium I
Tanpa gejala; Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh yang menetap. Tingkat aktivitas 1: tanpa gejala, aktivitas normal.

Stadium II
Kehilangan berat badan, kurang dari 10%; Gejala pada mukosa dan kulit yang ringan (dermatitis seboroik, infeksi jamur pada kuku, perlukaan pada mukosa mulut yang sering kambuh, radang pada sudut bibir); Herpes zoster terjadi dalam 5 tahun terakhir; ISPA (infeksi saluran nafas bagian atas) yang berulang, misalnya sinusitis karena infeksi bakteri. Tingkat aktivitas 2: dengan gejala, aktivitas normal.

Stadium III
Penurunan berat badan lebih dari 10%; Diare kronik yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan; Demam berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan; Candidiasis pada mulut; Bercak putih pada mulut berambut; TB paru dalam 1 tahun terakhir; Infeksi bakteri yang berat, misalnya: pneumonia, bisul pada otot. Tingkat aktivitas 3: terbaring di tempat tidur, kurang dari 15 hari dalam satu bulan terakhir.

Stadium IV
  • Kehilangan berat badan lebih dari 10% ditambah salah satu dari : diare kronik yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan. Kelemahan kronik dan demam berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan.
  • Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
  • Toksoplasmosis pada otak.
  • Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan.
  • Kriptokokosis di luar paru.
  • Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa dan kelenjar getah bening.
  • Infeksi virus Herpes simpleks pada kulit atau mukosa lebih dari 1 bulan atau dalam rongga perut tanpa memperhatikan lamanya.
  • PML(progressivemultifocalencephalopathy) atau infeksi virus dalam otak.
  • Setiap infeksi jamur yang menyeluruh, misalnya:histoplasmosis,kokidioidomikosis.
  • Candidiasis pada kerongkongan, tenggorokan, saluran paru dan paru.
  • Mikobakteriosis tidak spesifik yang menyeluruh.
  • Septikemia salmonela bukan tifoid.
  • TB di luar paru.
  • Limfoma.
  • Kaposi’s sarkoma.
  • Ensefalopati HIV sesuai definisi CDC.
Tingkat aktivitas 4: terbaring di tempat tidur, lebih dari 15 hari dalam 1 bulan terakhir.

Kelompok Resiko
Ditinjau dari cara penularannya, kelompok yang berpotensi terinfeksi HIV/ AIDS adalah pekerja seks komersial dengan pelanggannya, pramuria/ pramupijat, kaum homoseksual, penyalahguna narkoba suntik dan penerima darah atau produk darah yang berulang.

Dampak HIV/ AIDS
Dampak yang timbul akibat epidemi HIV/ AIDS dalam masyarakat adalah : menurunnya kualitas dan produktivitas SDM (usia produktif=84%); angka kematian tinggi dikarenakan penularan virus HIV/ AIDS pada bayi, anak dan orang tua; serta adanya ketimpangan sosial karena stigmatisasi terhadap penderita HIV/ AIDS masih kuat.

Cara Penularan
HIV hanya bisa hidup dalam cairan tubuh seperti : darah, cairan air mani (semen), cairan vagina dan serviks, air susu ibu maupun cairan dalam otak. Sedangkan air kencing, air mata dan keringat yang mengandung virus dalam jumlah kecil tidak berpotensi menularkan HIV.
Cara penularan melalui hubungan seksual tanpa pengaman/ kondom, jarum suntik yang digunakan bersama-sama, tusukan jarum untuk tatto, transfusi darah dan hasil olahan darah, transplantasi organ, infeksi ibu hamil pada bayinya(sewaktu hamil, melahirkan maupun menyusui). HIV tidak ditularkan melalui tempat duduk WC, sentuhan langsung dengan penderita HIV (bersalaman, berpelukan), tidak juga melalui bersin, batuk, ludah ataupun ciuman bibir (French kissing), maupun melalui gigitan nyamuk atau kutu.

Penularan HIV/ AIDS :
  • Hubungan seksual dengan orang yang mengidap HIV/AIDS, berhubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti dan tidak menggunakan alat pelindung (kondom).
  • Kontak darah/luka dan transfusi darah – Kontak darah/luka dan transfusi darah yang sudah tercemar virus HIV.
  • Penggunaan jarum suntik atau jarum tindik – Penggunaan jarum suntik atau jarum tindik secara bersama atau bergantian dengan orang yang terinfeksi HIV.
  • Dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang dikandungnya.
HIV tidak menular melalui gigitan nyamuk, orang bersalaman, berciuman, berpelukan, tinggal serumah, makan dam minum dengan piring-gelas yang sama.

Cara Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan ditujukan kepada seseorang yang mempunyai perilaku beresiko, sehingga diharapkan pasangan seksual dapat melindungi dirinya sendiri maupun pasangannya. Adapun caranya adalah dengan tidak berganti-ganti pasangan seksual (monogami), penggunaan kondom untuk mengurangi resiko penularan HIV secara oral dan vaginal. Pencegahan pada pengguna narkoba dapat dilakukan dengan cara menghindari penggunaan jarum suntik bersamaan dan jangan melakukan hubungan seksual pada saat high (lupa dengan hubungan seksual  aman). Sedangkan pencegahan pada ibu hamil yaitu dengan mengkonsumsi obat anti HIV selama hamil (untuk menurunkan resiko penularan pada bayi) dan pemberian susu formula pada bayi bila ibu terinfeksi HIV. Serta menghindari darah penderita HIV mengenai luka pada kulit, mulut ataupun mata.

Pemeriksaan HIV/ AIDS
Pemeriksaan sedini mungkin untuk mengetahui infeksi HIV sangat membantu dalam pencegahan dan pengobatan yang lebih lanjut. Tes HIV untuk yang beresiko dilakukan setiap 6 bulan, selain itu pencegahan dapat mengurangi faktor resiko.  Apabila sudah terdiagnosis infeksi HIV dilakukan dengan dua cara pemeriksaan antibodi yaitu ELISA dan Western blot. Tes Western blot dilakukan di negara-negara maju, sedangkan untuk negara berkembang dinjurkan oleh WHO pemeriksaan menggunakan tes ELISA yang dilakukan 2-3 kali.
Beberapa kelemahan dan keunggulan tes pemeriksaan infeksi HIV :
1. Tes Elisa – Keuntungan : murah; efisien; cocok untuk testing dalam jumlah besar; dapat mendeteksi HIV-1, HIV-2 dan varian HIV; cocok dalam surveilans dan pelayanan transfuse darah terpusat. Kelemahan : butuh staf dan tehnisi laboratorium yang terampil dan terlatih; peralatan canggih; sumber listrik konstan; waktu yang cukup.
2. Tes Sederhana/ Cepat – Keuntungan : hasil cepat; menggunakan sampel darah lengkap (whole blood); tidak butuh peralatan khusus; sederhana; dapat dikerjakan oleh staf dengan pelatihan terbatas; tidak perlu listrik; dapat dipindah-pindahkan dan fleksibel; hasil mudah dibaca; punya kontrol internal sehingga hasil akurat; rancangan tes tunggal untuk spesimen terbatas. Kelemahan : lebih mahal dari tes ELISA; butuh mesin pendingin (2o C dan 30 o C); meningkatkan potensi testing wajib; pemberitahuan hasil tes tidak terpikirkan implikasinya.
3. Tes Air Liur dan Air Kencing – Keuntungan : prosedur pengumpulan lebih sederhana; cocok untuk orang yang menolak memberikan darah; menurunkan resiko kerja; lebih aman (karena mengandung sedikit virus). Kelemahan : harus mengikuti prosedur testing yang spesifik dan hati-hati; berpotensi untuk testing mandatory; mendorong timbulnya mitos penularan HIV lewat ciuman; belum banyak dievaluasi di lapangan.
4. Tes Konfirmasi (Western blot) – Keuntungan : untuk memastikan suatu hasil positif dari tes pertama. Kelemahan : mahal; membutuhkan peralatan khusus; pemeriksa harus terlatih.
5. Antigen Virus - Keuntungan : mengetahui infeksi dini HIV; skrinning darah; mendiagnosis infeksi bayi baru lahir; memonitor pengobatan dengan ARV. Kelemahan : kurang sensitif untuk tes darah.
6. VCT (Voluntary Counseling And Testing) - Kelemahan : perlu pelayanan konseling yang efektif; konselor perlu disupervisi; konselor terkadang perlu konseling.

Pengobatan HIV/ AIDS
Pengobatan HIV/ AIDS yang sudah ada kini adalah dengan pengobatan ARV (antiretroviral) dan obat-obat baru lainnya masih dalam tahap penelitian.
Jenis obat-obat antiretroviral :
  • Attachment inhibitors (mencegah perlekatan virus pada sel host) dan fusion inhibitors (mencegah fusi membran luar virus dengan membran sel hos). Obat ini adalah obat baru yang sedang diteliti pada manusia.
  • Reverse transcriptase inhibitors atau RTI, mencegah salinan RNA virus ke dalam DNA sel hos. Beberapa obat-obatan yang dipergunakan saat ini adalah golongan Nukes dan Non-Nukes.
  • Integrase inhibitors, menghalangi kerja enzim integrase yang berfungsi menyambung potongan-potongan DNA untuk membentuk virus. Penelitian obat ini pada manusia dimulai tahun 2001 (S-1360).
  • Protease inhibitors (PIs), menghalangi enzim protease yang berfungsi memotong DNA menjadi potongan-potongan yang tepat. Golongan obat ini sekarang telah beredar di pasaran (Saquinavir, Ritonavir, Lopinavir, dll.).
  • Immune stimulators (perangsang imunitas) tubuh melalui kurir (messenger) kimia, termasuk interleukin-2 (IL-2), Reticulose, HRG214. Obat ini masih dalam penelitian tahap lanjut pada manusia.
  • Obat antisense, merupakan “bayangan cermin” kode genetik HIV yang mengikat pada virus untuk mencegah fungsinya (HGTV43). Obat ini masih dalam percobaan.
Perawatan dan Dukungan
Perawatan dan dukungan untuk ODHA (orang dengan HIV/ AIDS) sangat penting sekali. Hal tersebut dapat menimbulkan percaya diri/ tidak minder dalam pergaulan. ODHA sangat memerlukan teman untuk memberikan motivasi hidup dalam menjalani kehidupannya. HIV/ AIDS memang belum bisa diobati, tetapi orang yang mengidap HIV/ AIDS dapat hidup lebih lama menjadi apa yang mereka inginkan.

Kiat Hidup Sehat Dengan HIV/AIDS
1) Makan makanan bergizi. 2) Tetap lakukan kegiatan dan bekerja/ beraktivitas. 3) Istirahat cukup. 4) Sayangilah diri sendiri. 5) Temuilah teman/ saudara sesering mungkin. 6) Temui dokter bila ada masalah/ keluhan. 7) Berusaha untuk menghindari infeksi lain, penggunaan obat-obat tanpe resep dan hindari mengurung diri sendiri.

Perawatan di rumah (home care)
1. Melakukan pendidikan pada odha dan keluarga tentang pengertian, cara penularan, pencegahan, gejala-gejala, penanganan hiv/ aids, pemberian perawatan, pencarian bantuan dan motivasi hidup.
2. Mengajar keluarga ODHA tentang bertanya dan mendengarkan, memberikan informasi dan mendiskusikan, mengevaluasi pemahaman, mendengar dan menjawab pertanyaan, menunjukkan cara melakukan sesuatu dengan benar dan mandiri serta pemecahan masalah.
3. Mencegah penularan HIV di rumah dengan cara cuci tangan, menjaga kain sprei dan baju tetap bersih, jangan berbagi barang-barang tajam.
4. Menghindari infeksi lain seperti dengan cuci tangan, menggunakan air bersih dan matang untuk konsumsi, jangan meludah sembarang tempat, tutup mulut/ hidung saat batuk/ bersin, buanglah sampah pada tempatnya.
5. Menghindari malaria dengan menggunakan kelambu saat tidur dan penggunaan obat nyamuk.
6. Merawat anak-anak dengan HIV/ AIDS, yaitu dengan memberikan makanan terbaik (ASI), memberikan imunisasi, pengobatan apabila si kecil sudah terinfeksi, serta memperlakukan anak secara normal.
7. Mengenal dan mengelola gejala yang timbul pada ODHA.
Gejala-gejalanya seperti demam, diare, masalah kulit, timbul bercak putih pada mulut dan tenggorokan, mual dan muntah,nyeri, kelelahan dan kecemasan serta kecemasan dan depresi.
8. Perawatan paliatif (untuk memberikan perasaan nyaman dan menghindari keresahan, membantu belajar mandiri, menghibur saat sedih,membangun motivasi diri).

Referensi
Adobe reader-[challenges-opportunitis_id.pdf]. Laporan Eksekutif Menkes RI Tentang Penanggulangan HIV/ AIDS Respon Menangkal Bencana Nasional Pada Sidang Kabinet Maret 2002. Jakarta.
Adobe reader-[who_ilo_guidelines_indonesian.pdf]. Pedoman Bersama ILO/ WHO tentang Pelayanan Kesehatan dan HIV/ AIDS.September 2005.
Adobe Reader-[HIV-AIDSbooklet_part3.pdf].
Adobe Reader-[ASHMO3HIVposFactsheetInd.pdf]. Informasi Pasien.
Adobe Reader-[CoveringthoseaffectedbyHIVAIDS.pdf]. Liputan Tentang Mereka Yang Mengidap HIV/AIDS.
BERITA IPTEK ONLINE: Mengamati Pengaruh HIV pada kesuburan pria. Hadhimulya Asmara.10 Mei 2007.
Farida Aprilianingrum, SKM.Pemberdayaan Pekerja Sex Sunan Kuning : Learning Resources Center : Pusat Media Belajar Kesehatan.

>>