Selasa, 04 Oktober 2011

Farmakologi tatalaksana Juvenile Rheumatoid Arthritis


Juvenile Rheumatoid Arthritis
Juvenile Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit autoimun yang menyerang anak-anak berusia di bawah 16 tahun. Secara umum penyakit ini dicirikan oleh inflamasi kronik sendi, edema, bengkak, nyeri, hiperemia, infiltrasi limfosit dan sel plasma, penebalan membran sinovial, pembentukan pannus, destruksi kartilago, kehilangan fungsi serta berbagai aktivitas ekstraartikular seperti nodul rheumatoid, gejala seperti demam dan malaise, iridosiklitis, dan lain-lain. Faktor yang memicu rangkaian kejadian pada JRA masih belum dipahami sepenuhnya, namun imunologi berperan penting dalam patogenesis penyakit tersebut. Berdasarkan jumlah sendi yang terkena, durasi, dan faktor rheumatoid, JRA dapat dibagi ke dalam beberapa kategori antara lain pausilartikular (oligoartikular) tipe 1 dan 2 dan poliartikular baik dengan faktor rheumatoid positif maupun negatif.
Dalam penatalaksanaan JRA, terdapat dua tujuan umum yang ingin dicapai:
  1. Mengembalikan fungsi sendi dan memulihkan manifestasi ekstraartikular serta
  2. Memberi dukungan pada anak dan keluarganya dalam menuju pencapaian psikososial seoptimal mungkin
Tatalaksana farmakologis Juvenile Rheumatoid Arthritis
1. Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID)
NSAID merupakan golongan obat yang memiliki efek antiinflamasi, antipiretik dan analgetik. NSAID bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin (salah satu mediator peradangan) terganggu. Prostaglandin merupakan mediator yang berperan dalam proses nyeri (menyebabkan sensitisasi reseptor terhadap stimulus mekanik dan kimia/hiperalgesia), menimbulkan vasodilatasi, eritema, dan menimbulkan demam (terutama di hipothalamus).
Secara umum diketahui ada dua isoform COX, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 berperan dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal/fisiologis di berbagai jaringan (ginjal, saluran cerna, tombosit) sedangkan COX-2 lebih berperan dalam proses inflamasi.
Dalam menimbulkan efek analgesik, NSAID jauh lebih lemah dibanding opiat, namun demikian NSAID tidak menimbulkan ketergantungan. NSAID bekerja dengan cara mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri di susunan saraf pusat, oleh karena itu NSAID cocok untuk nyeri rendah sampai sedang (mis. sakit kepala, nyeri integumen), nyeri kronik (mis. nyeri pascabedah), namun tidak cocok untuk nyeri hebat seperti akibat terpotongnya saraf aferen.
Efek antipiretik NSAID disebabkan oleh kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin di hipotalamus (terutama oleh aspirin), dan efek antiinflamasinya sering digunakan untuk pengobatan kelainan muskuloskeletal. Meskipun demikian, NSAID hanya meringankan simptom, bukan menghilangkan penyebab/memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Untuk penyakit Juvenile Rheumatoid Arthritis, NSAID merupakan obat yang diberikan pertama kali (sesuai algoritma penatalaksanaan). Terdapat beberapa pilihan NSAID, namun beberapa NSAID tertentu yang sudah tidak/jarang digunakan lagi, seperti aspirin, karena sifatnya yang merusak lambung (aspirin menghambat COX-1, yang secara fisiologis bersifat sitoprotektif untuk lambung). Untuk mengevaluasi sejauh mana manfaat NSAID tertentu terhadap penderita diperlukan waktu paling sedikit 6 minggu. Selain itu, kadang-kadang diperlukan kombinasi NSAID dengan DMARD (misalnya methotrexate). Beberapa contoh NSAID yang diberikan untuk penderita JRA adalah:
  • Naproxen, untuk anak-anak dosis 7-20 mg/kgBB/hari peroral, dan tidak melebihi 1 gr/hari
  • Ibuprofen, untuk anak-anak dosis 30-50 mg/kgBB/hari peroral, dan tidak melebihi 2.4 gr/hari
  • Indomethacin, untuk anak-anak 1-2 mg/kgBB/hari, dan tidak melebihi 4 mg/kgBB/hari atau 150-200 mg/hari.
  • Diclofenac, untuk anak ≤12 tahun dosis 2-3 mg/kgBB/hari dan untuk anak ≥12 tahun dosis 100-200 mg/hari dan tidak melebih 225 mg/hari
  • Meloxicam, untuk anak-anak >2 tahun dosis 0.125 mg/kgBB/hari peroral, maksimal 7.5 mg/hari
  • Celecoxib, untuk anak-anak tidak diperbolehkan di bawah usia dua tahun, sedangkan untuk anak >2 tahun dengan berat 10-25 kg dosis 50 mg secara peroral dua kali sehari, dan untuk anak  >2 tahun dengan berat di atas 25 kg dosis 100 mg secara peroral dua kali sehari.
Dalam penggunaan NSAID sebagai tatalaksana JRA, perlu diperhatikan efek sampingnya, terutama pada tiga sistem organ yaitu saluran cerna, ginjal dan hati (bersifat hepatotoksik). Efek samping paling sering adalah ulkus peptik (terutama disebabkan oleh NSAID inhibitor COX-1), sehingga untuk menghindarinya NSAID yang digunakan adalah bersifat COX-2 inhibitor seperti celecoxib atau diclofenac. Selain itu NSAID juga dapat menghambat tromboxan A2 sehingga menyebabkan perpanjangan waktu perdarahan. Efek samping lainnya adalah nefropati analgesik dan reaksi hipersensitifitas.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang bekerja dengan cara mempengaruhi sintesis protein (dapat merangsang pembentukan atau menghambat sintesis protein spesifik). Secara seluler, kortikosteroid menghambat fenomena inflamasi dini (mis. edema, deposit fibrin, vasodilatasi, migrasi leukosit dan fagositosis) dan inflamasi tahap lanjut (mis. proliferasi kapiler, sintesis fibroblas dan kolagen). Karena itu, kortikosteroid hanya bersifat paliatif (menghilangkan simptom namun penyebab penyakit tetap ada). Sedangkan efek samping kortikosteroid cukup banyak, antara lain insufsiensi adrenal akut, gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemia, mudah mendapat infeksi, perdarahan ulkus peptik, osteoporosis, miopatik, dll. Oleh karena itu pemberian kortikosteroid harus di bawah pengawasan yang sangat ketat.
Untuk penyakit JRA, pemberian kortikosteroid relatif jarang dan sebisa mungkin diupayakan untuk dihindari. Apabila diperlukan maka pemberiannya dapat berupa suntikan langsung secara intraartikular (apabila hanya sedikit/beberapa sendi yang terkena) atau intravena (apabila terjadi manifestasi sistemik intraartikular). Contoh kortikosteroid untuk JRA adalah methylprednisolone, pada anak-anak dosis intravena 15-30 mg/kgBB diberikan 30-60 menit untuk 2-3 hari.
3. Antireumatik pemodifikasi penyakit (DMARD)
DMARD merupakan obat antireumatik yang tidak hanya menghilangkan simptom namun juga mencegah perburukan penyakit. Efek DMARD baru dirasakan enam minggu hingga enam bulan setelah pengobatan.
Beberapa contoh DMARD adalah:
  • Methotrexate, untuk anak-anak diberikan dengan dosis 10-25 mg/m2/minggu secara peroral/intramuskular/subkutan dan dapat disertai dengan pemberian asam folat. Efek samping yang dapat timbul adalah mual, ulkus mukosa saluran cerna dan hepatotoksisitas.
  • Sulfasalazine,  untuk anak ≥6 tahun diberikan dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari dan tidak melebihi 2 gr/hari. Sulfasalazine bekerja menekan IL-1 dan TNF-α, menginduksi apoptosis dan meningkatkan faktor kemotaktik. Efek samping yang dapat timbul adalah iritasi saluran cerna, mual, muntah, dan nyeri kepala.
  • Adalimumab, yaitu suatu penghambat TNF. Untuk anak ≥4 tahun dengan berat 15-30 kg diberikan 20 mg/dua minggu secara subkutan, sedangkan untuk anak ≥4 tahun dengan berat badan ≥30 kg diberikan 40 mg/dua minggu secara subkutan.
Berikut ini adalah contoh suatu algoritma dalam penatalaksanaan Juvenile Rheumatoid Arthritis secara farmakologis:
Referensi
  1. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Textbook of Pediatrics. 15th ed. USA: WB Saunders Company; 1996.
  2. Gunawan SG et al. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 230-246.
  3. Rabinovich et al. Juvenile Rheumatoid Arthritis [Online]. 2009 Nov 25 [cited 2009 Dec 29]; Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1007276-treatment
>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar