Mengenai hukum donor darah, dirinci sebagai berikut:
1. Penerima donor (recipient)
Para ulama menggolongkan donor darah sebagaimana “makan” bukan
“berobat”. Dengan demikian, pada hakikatnya, orang yang melakukan donor
darah dianggap telah memasukkan makanan berupa darah ke dalam tubuhnya.
Untuk itu, ulama memberikan batasan, bahwa donor darah diperbolehkan jika dalam kondisi darurat. Dalil dalam masalah ini adalah firman Allah,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah ….” (Q.s. Al-Maidah:3)
Kemudian, di akhir ayat, Allah menyatakan,
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Barang siapa berada dalam kondisi terpaksa karena kelaparan,
(lalu) tanpa sengaja (dia) berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang ….” (Q.s. Al-Maidah:3)
Allah memperbolehkan hamba-Nya untuk memakan makanan yang diharamkan
jika dalam kondisi terpaksa, karena kelaparan. Dalam kondisi yang sama,
orang sakit yang hendak menyelamatkan nyawanya, diperbolehkan untuk
memasukkan darah ke dalam tubuhnya, karena kondisi terpaksa.
2. Pendonor
Seseorang diperbolehkan melakukan donor darah, selama proses donor
tersebut tidak membahayakan dirinya. Dalil dalam masalah ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh menimbulkan bahaya atau membahayakan yang lain.” (H.r. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni; dengan derajat hasan) (Disimpulkan dari fatwa Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh)
oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
>>
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar